Kajian Akademis (Teoritid dan Praktis) atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional
Abstract
Ada banyak berbagai
pendapat tentang Undang-Undang perjanjian yang telah di tetapkan pemerintah
Indonesia pada taun 2000, termasuk apakah sudah diterapkan dengan benar dan
dipahami dengan benar. Artikel ini membahas analisis akademik tertentu pada
hukum No 24 Tahun 2000 tentang perjanjian dari sudut pandang hukum perjanjian.
1.
Pendahuluan
Hukum perjanjian
internasional telah diformulasikan ke dalam bentuk hukum tertulis yang berupa
dua konvensi yakni :
·
Konvensi
Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang hanya mengatur
perjanjian-perjanjian internasional antara negara dan negara saja
·
Konvensi
Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian internasional antara Organisasi
Internasional dan Negara dan antara Organisasi Internasional dan Organisasi
Internasional
Pada dasarnya, kedua
Konvensi ini mengatur tentang proses atau tahap-tahap dalam pembuatan sampai
pengakhiran perjanjian internasional.
Keterikatan atau
tunduknya suatu negara pada suatu perjanjian internasional mengandung aspek
eksternal dan aspek internal. Aspek eksternal adalah negara itu memikul
kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional itu. Sedangkan aspek
internalnya adalah perjanjian internasional itu masuk dan berlaku sebagai
bagian dari hukum nasionalnya. Masalah-masalah sudah mulai terjadi ketika
pemerintah begara itu bermaksud akan membuat perjanjian internasional. Ini
lebih tampak sebagai masalah prosedur.
Masalah internal
lainnya yang lebih substansial adalah dampak atau pengaruh dari masuknya
perjanjian internasional itu ke dalam hukum nasional atau peraturan
perundanga-undangan nasional negara.dalam hal ini dibutuhkan adanya
pengharmonisasian atau penyelarasana antara substansi perjanjian dengan
substansi dari hukum atau peraturan perundang-undangan nasional yang terkait.
2.
Dasar
Hukum dari Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia
Secara kronologis, periodeisasi dasar hukum dari perjanjian
internasional dalam sejarah hukum Indonesia adalah :
II.1. Periode 17Agustus 1945 – 18 Desember 1949, Periode 18 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, dan Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
Dalam periode 17 Agustus 1945 – 18 Desember 1949, dasar hukum
perjanjian internasional dapat dijumpai dalam Pasal 11 UUD 1945. Karna bentuk
negara RI diubah dari negara kesatuan menjadi negara serikat, maka yang menjadi
dasar hukum dari perjanjian internasional yaitu Bab IV Bagian 5 (18 Desember
1949 – 17 Agustus 1950).
Lalu periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 menggunakan UUDS 1950 Pasal
120 ayat 1 dan 2 dan Pasal 121 menjadi dasar hukum dari perjanjian
internasional.
II.2. Periode 5 Juli 1959 – 23 Oktober 2000
II.2.1. Berlakunya kembali UUD 1945 dan Pasal 11 UUD 1945 sebagai dasar hukum dari perjanjian internasional
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 yang salah satu
isinya adalah “Kembali ke UUD 1945”, maka sejak itu UUD 1945 mulai berlaku
kembali. Bentuk negara tetap sebagai negara kesatuan, hanya UUDnya saja yang
diganti. Dengan demikian, dasar hukum dari perjanjian internasional juga
kembali pada Pasal 11 UUD 1945 dengan rumusan yang tidak berubah.
II.2.2. Surat Presiden Nomor: 2826/HK/1960 Tanggal 22 Agustus 1960
Surat presiden ini pada hakekatnya merupakan pendapat atau penafsiran
dai Presiden atau Pemerintah tentang ruang lingkup substansi dari Pasal 11 UUD
1945. Adapun isi pokok dari Surat Presiden ini dapat dirincikan sebagai
berikut:
1. Tidak setiap perjanjian yang dibuat oleh
Presiden dengan negara asing harus diajukan kepada Dewan untuk mendapatkan
persetujuan.
2. Jika mengenai perjanian-perjanjian yang
substansinya kecil juga harus membutuhkan persetujuan Dewan terlebih dahulu,
akibatnya Pemerintah tidak akan mempunyai keleluasaan untuk bertindak dalam
melakukan hubungan-hubungan internasional yang membutuhkan langkah cepat dari
Pemerintah.
3. Untuk menjamin kelancaran kerjasama antara
Pemerintah dan Dewan berkenaan dengan Pasal 11 UUD 1945, Pemerintah akan
meminta persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, hanya mengenai
perjanjian-perjanjian yang penting saja (treaties).
4. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di
atas, Pemerintah berpendapat, perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan
kepada DPR umtuk mendapatkan persetujuan sebelum disahkan oleh Presiden adalah
perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty.
II.3. Periode 23 Oktober 2000 – Sekarang: Masa berlakunya UUD 1945 (sesudah Perubahan) dan mulai berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian InternasionalII.3.1. Pasal 11 UUD 1945 Perubaha Ketiga (2001) dan Keempat (2002)
Pada Perubahan Ketiga (2001), naskah Pasal 11 lama tampaknya dihapuskan
sedangkan ayat 2 dan 3 nya merupakan hasil Perubahan Ketiga. Akan tetapi dalam
Perubahan Keempat (2002), Pasal 11 naskah yang lama ternyata dimunculkan lagi
dan dijadikan seabagi Pasal 11 ayat 1.
Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan berkenaan dengan substansi
dari Pasal 11 ayat 1, ayat 2, dan 3:
·
Terhadap
ayat 1 yang merupakan naskah lama, tidak tepat untuk disatukan pengaturan
tentang menyatakan perang dan membuat perdamaian pada satu pihak dan membuat
perjanjian internasional pada pihak lain di dalam satu pasal ataupun ayat,
sebab keduanya berbeda.
·
Terhadap
ayat 2 sebagai naskah baru yang substansinya lebih tampak sebagai kriteria
tentang suatu perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan DPR.
·
Mubculnya
ketentuan ayat 2 yang mengharuskan Presiden meminta persetujuan Dewan dalam
pembuatan perjanjian-perjanjian internasional yang materinya sangat penting dan
menyangkut hajat hidup orang banyak, tampaknya disebabkan karena perancang
naskah ayat 2 ini menafsirkan ayat 1 sebagai bersifat fakultatif.
III. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional: Beberapa Catatan dan Komentar
Secara umum dapat dikatakan, bahwa UU ini sudah lebih lengkap jika
dibandingkan dengan Surat Presiden di atas. Akan tetapi, UU ini menyatukan
antara perjanjian internasional yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 dan
Konvensi Wina 1986, padahal keduanya walaupun ada cukup banyak persamaan, juga
ada perbedaannya.
Memang sistimatikanya sudah tampak adanya keselarasan, namun
sistematika ini tidak sepenuhnya sesuai mengikuti urutan-urutan dalam kedua
Konvensi walaupun tidak harus sama persis.
Secara khusus, terlihat adanya masalah dalam hal “Pengesahan”. Tidak
jelasnya perbedaan antara “Pengesahan” dalam pengertian “Pengikatan diri atau
Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian Internasional” pada satu pihak dengan
“Pengesahan” dalam pengertian “Pemberlakuan suatu Perjanjian Internasional ke
dalam Kukum Nasional Indonesia” pada pihak lain.
Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu
perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan, dan
persetujuan. (Pasal 1 butir b)
Dari definisi ini tampak jelas, bahwa yang dimaksudkan dengan
pengertian pengesahan dalam Pasal 1
butir b ini adalah sama dengan pengikatan diri atau persetujuan untuk terikat
pada suatu perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 11-17
Konvensi Wina 1969 dan Pasal 11-17 Konvensi Wina 1986.
Selain itu, UU ini membedakan perjanjian internasional ke dalam dua
golongan yakni :
·
Perjanjian
internasional yang diberlakukan dengan undang-undang (Pasal 10)
·
Perjanjian
internasional yang diberlakukan dengan Keputusan Presiden (Pasal 11 ayat 1 dan
2)
IV. Beberapa Masalah Domestik dari Pemberlakuan Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional Indonesia Berdasarkan Pasal 11 UUD 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Masalah-masalah dalam ruang lingkup hukum nasional secara kronologis
adalah:
·
Indonesia
sebelum mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional sebagaimana
lazimnya, akan mengkaji secara mendalam lebih dahulu substansi dari perjanjian
internasional tersebut. Persoalan-persoalan yang terkait dalam hal ini adalah,
sejauh manakah substansi perjanjian internasional itu sesuai ataupun
bertentangan dengan kepentingan nasional ataupun hukum nasional dalam bidang
yang bersangkutan.
·
Mengenai
pembedaan perjanjian internasional yang pemberlakuannya ke dalam hukum nasional
Indonesia antara yang membutuhkan dan yang tidak membutuhkan persetujuan DPR.
·
Kesalahan
dalam penggolongan dan pemberlakuan seperti di atas, dapat menimbulkan persoalan
apabila Keputusan Presiden tentang pemberlakuan perjanjian itu dijadikan sebagi
konsiderans dari UU yang merupakan pelaksanaa dari perjanjian itu.
·
Adanya
kemungkinan pihak-pihak yang menggugat keabsahan dari suatu UU tentang
pemberlakuan perjanjian internasional kehadapan MK ataupun menggugat keabsahan
dari suatu Keputusan Presiden tentang pemberlakuan perjanjian internasional
melalui hak uji materiil di hadapan badan pengadilan.
·
Berkenaan
dengan perjanjian-perjanjian internasional yang setelah pemberlakuannya ke
dalam hukum nasional Indonesia yang substansial masih perlu ditransformasikan
menjadi UU nasional.
·
Perjanjian-perjanjian
internasional dalam golongan pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia
dilakukan secara langsung sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat 1 UU Nomor
24 Tahun 2000. Dengan kata lain, perjanjian-perjanjian dalam golongan ini
masuknya dan berlakunya sama sekali tanpa suatu bentuk tertentu, seperti UU,
KepPres ataupun bentuk peraturan lainnya.
V. Penutup
Dengan paparan masalah-masalah di atas kiranya sudah cukup menampakan
betapa keduanya perlu diubah lagi untuk disesuaikan dengan perkembangan hukum
perjanjian internasional itu sendiri yang semakin lama semakin bertambah banyak
baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
SUMBER : INDONESIAN
JOURNAL OF INTERNATIONAL LAW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar