Kamis, 31 Mei 2012

Review Jurnal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)


 PEMBERDAYAAN KOPERASI USAHA KECIL DAN
MENENGAH DALAM MEMANFAATKAN HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL
Idham Bustamam*
Abstrak
Pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam penelitian ini, hanya ingin tahusecara jelas di lapangan, bagaimana koperasi dan UKM Memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual, dan seberapa jauh pemerintah memberikan promosi ke lembaga yang bersangkutan, sehingga informasi yang diterima oleh koperasi dan UKM dari perusahaan sama. Bunga yang rendah juga di gunakan dalam Hak Kekayaan Intelektual untuk mendaftarkan perusahaan mereka yang tidak mau membayar biaya di luar bisnisnya. Responden sangat ingin menunggu informasi promosi tentang Hak Kekayaan Intelektual dari Pemerintah atau instansi terkait lainnya.


I. PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Dalam era globalisasi sekarang ini, untuk dunia perdagangan internasional batas negara boleh dikatakan hampir tidak ada lagi, karena setiap negara telah menyepakati kesepakatan internasional di bidang perdagangan seperti WTO, APTA, APEC dan lain sebagainya harus tunduk kepada kesepakatan tersebut. Dengan demikian setiap Negara tidak dapat lagi melindungi perekonomiannya dengan kebijakan tariff  maupun fiskal melebihi kesepakatan yang telah diterapkan. Termasuk diantaranya pemberian perhatian khusus terhadap perlindungan pada hak kekayaan Intelektual (HaKI) yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian (Agreement Establishing The Word Trade Organization) yaitu salah satu persetujuan di bawah WTO berupa perjanjian atau persetujuan mengenai aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak kekayaan intelektual, termasuk perdagangan palsu (Agreement on the Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights atau persetujuan TRIP’s, Including Trade in Counferfeit Goods). Indonesia telah mengikrarkan ikut dalam organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) dengan mengesahkan keikutsertaannya dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1997.
Dalam era tersebut persaingan yang terjadi adalah persaingan antar produsen ataupun perusahaan dan bukan lagi antar negara. Siapa yang dapat bekerja lebih professional dan efisien itulah yang keluar sebagai pemenang dan dapat eksis di pasar.
Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil lebih memberikan leluasa gerak dari usaha kecil. Pada pasal 12/1995 Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf f dengan menetapkan Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan untuk:
1.Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan dengan mengupayakan terwujudnya sistem pelayanan satu atap;
2. Memberikan kemudahan persyaratan untuk memperoleh perizinan.
Di bidang Perkoperasian Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pasal 61 menyebutkan antara lain: “Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim kondusif yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi, Pemerintah :
1.Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi;
2.Meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadi Koperasi yang sehat, tangguh dan mandiri;
3.Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya;
4.Memberdayakan Koperasi dalam masyarakat.
Berbagai kebijakan tersebut diatas mengindikasikan pemerintah sangat peduli akan tumbuh dan berkembangnya Koperasi dan Usaha Kecil dengan melindungi dan memberikan iklim, baik untuk Koperasi dan Usaha Kecil. Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan tentang merek pertama kali dikenal dengan di undangkannya Undang- Undang No. 21 Tahun 1961 tentang “Merek Perusahaan dan Perniagaan”.
Perkembangan perdagangan dunia internasional yang semakin cepat, menuntut kesepakatan dan komitmen terhadap pengurangan segala hambatan-hambatan perdagangan dunia internasional di berbagai aspek tetapi menjunjung tinggi azas legalitas yang telah disepakati bersama.
2. Rumusan Masalah
Kalau dilihat dari judul penelitian, maka dapatlah diidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1.Sejauh mana sebenarnya minat dari Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
2.Sejauhmana pemberian penyuluhan-penyuluhan HaKI oleh lembagalembaga pemerintah yang terkait.
3.Sejauhmana hambatan-hambatan yang dihadapi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah selaku pemanfaat HaKI.

3. Tujuan dan Manfaat
1.      Tujuan
Tujuan dari penelitian ini dapat disampaikan antara lain :
  • Seberapa minat untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) bagi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
  • Faktor-faktor penyebab kurang minatnya untuk memanfaatkan Hak kekayaan Intelektual (HaKI) bagi koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
2.      Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga, dinas terkait, serta KUKM sebagai bahan penyusunan rencana kebijakan yang akan datang.

4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi :
1.      Gambaran produk-produk yang dihasilkan KUKM
2.      Langkah-langkah operasional yang telah dilakukan instansi, dinas yang menangani HaKI
3.      Faktor-faktor penghambat dalam mendapatkan HaKI oleh Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.


II. KERANGKA PEMIKIRAN
Arti penting HaKI adalah :
1.“Sebagai suatu sistem, HaKI sebagai sarana pemberian hak kepada pihak-pihak yang memenuhi persyaratan dan memberikan perlindungan bagi para pemegang hak dimaksud; dan
2.HaKI adalah alat pendukung pertumbuhan ekonomi sebab dengan adanya perlindungan terhadap HaKI akan terbangkitkan motivasi manusia untuk menghasilkan karya intelektual”. (UU Hak Cipta, Paten & Merek, 2001).


1. Merek
Di dalam Undang-undang Republik Indonesia tentang PATEN dan MEREK Tahun 2001, khusus untuk merek diatur oleh Undangundang Merek Nomor 15 Tahun 2001. Yang dimaksud “Merek” adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.
Perlindungan hukum bagi pemilik merek tidak hanya dapat dipandang dari aspek hukum saja, tetapi perlu dipandang dari aspek ekonomi dan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam Undangundang Merek Nomor 15 Tahun 2001 pasal 90 berbunyi; “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama atau keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.


2. Sosialisasi Mendapatkan HaKI
Untuk meningkatkan kesadaran tentang HaKI sangat perlu dilakukan sosialisasi pada masyarakat. Penilaian komersial patut dihargai bagi seseorang yang telah maju dalam berbisnis. Nilai komersial bisa hilang apabila usaha tersebut tidak diikat erat-erat dengan ketentuan perundang-undangan. Di Indonesia kelihatannya HaKI kurang diminati oleh pelaku bisnis, karena kurangnya penyuluhan, kurangnya pembinaan pemerintah bagi usaha yang telah mulai baik jalannya. Hal tersebut disebabkan kultur masyarakat yang beranggapan memperbanyak karya intelektual dengan mempromosikan karya tersebut tidak perlu otorisasi, ada yang beranggapan tanpa HaKI barang/produk juga terjual, dan biaya administrasi tinggi berarti menambah beban usaha saja. Persepsi yang keliru di kalangan masyarakat khususnya pengusaha tersebut perlu segera diluruskan dan diperbaiki dengan memberikan pengertian-pengertian yang jelas tentang HaKI.
Tujuan sosialisasi dibidang HaKI adalah untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai sistem HaKI nasional maupun internasional termasuk dalam hal merek.


3. Sengketa Merek Bagi Pelaku Bisnis
Sengketa merek sering terjadi bagi pengusaha yang usahanya sudah maju dan berkembang dengan baik dengan merek dagang dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat, dimana merek dagangnya telah dipalsukan oleh pengusaha lainnya.
Sengketa penggunaan merek tanpa hak dapat digugat dengan delik perdata maupun pidana, disamping pembatalan pendaftaran merek tersebut. Tindak pidana dalam hal merek dapat dibagi 2, yaitu Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan : Pasal 92 ayat 1 : “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


III. METODE PENELITIAN


1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terpilih sampel ada 4 (empat) propinsi yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Lampung. Terpilihnya empat propinsi tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bahwa informasi dan data diperoleh dapat mewakili Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang tersebar sampai pelosok Indonesia. Demikian pula jenis usaha yang akan dilihat beragam usaha industri rumah tangga, merupakan mata pencaharian tetap bagi pebisnis kecil, dengan administrasi sangat sederhana, tenaga kerja setempat (lokal), jam kerja pun belum tentu memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Disamping itu pertimbangan lain adalah dana dan tenaga yang tersedia.
Dengan memadukan beberapa propinsi yang mempunyai penghasilan beragam, tentunya akan muncul pendapat responden tentang minat memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual.


2. Penarikan Sampel
Penelitian ini mempergunakan teknik antara lain :
a. Field Work Research
Penelitian langsung ke lapangan tempat obyeknya (observasi). Dengan cara interview-interview sekaligus mengisi daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Interview untuk Koperasi dapat ditujukan pada pengurus koperasi dan manajer koperasi. Bagi usaha kecil dan menengah interview langsung ditujukan pada pemilik usaha. Pada umumnya dua orang atau lebih hadir secara fisik dalam proses tanya jawab ini, dan masing-masing pihak dapat menggunakan saluran-saluran komunikasi secara wajar dan lancar.
b. Library Research
Pengamatan deskriptif diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai permasalahan yang berhubungan dengan materi penelitian. Teknik tersebut sangat banyak manfaatnya, memberikan keterpaduan antara teori dengan praktek lapangan.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Karakteristik Pengusaha


1). Persepsi Dan Pemanfataan HaKI
Dari hasil survei lapangan diketahui bahwa 100,00% responden menyatakan pernah mendengar tentang HaKI. Penyuluhan yang telah diperoleh yaitu, dari instansi terkait (pembina) hanya 18,75%, melalui media massa 5,00%, dan melalui pengusaha 76,25%. Pemahaman tentang HaKI, dari responden yang mengatakan mamahami 30,00%, dan yang tidak paham HaKI 70,00%. Guna kemajuan usaha telah pula diperoleh informasi yang jelas, bahwa responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan 75,00%, dan yang mengatakan terhambat jalannya 25,00% (tabel 1).














Dari data-data yang telah diperoleh bahwa penyuluhan-penyuluhan tentang arti dan pentingnya HaKI perlu ditingkatkan secara kontinu dari pemerintah.
2). Minat Mendapatkan HaKI
Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang mengatakan berminat mendapatkan HaKI sebesar 2,25%, kurang minat 52,50%, dan tidak berminat akan HaKI sebesar 45,25%. Kalau mendapatkan HaKI dalam bentuk paten sebesar 52,50%, dan bentuk merek 47,50% (tabel 2).














Para pengusaha mengatakan bahwa belum sepenuhnya tahu mengurus administrasi HaKI. Disamping itu modal usaha yang dimiliki masih relatif kecil dengan teknologi sederhana.
3). Pemilikan HaKI Dan Produk Usaha
Hasil survei mengatakan bahwa apabila memperoleh HaKI dipergunakan untuk usaha sendiri sebesar 100,00%. Sedangkan produk yang akan didaftarkan adalah hasil temuan sendiri 82,50%. Produk mendapatkan HaKI adalah produk yang tidak memiliki saingan 77,50%, (tabel 3). Pengusaha sebagai responden, usaha yang dikelola umumnya usaha turun temurun dan telah ditekuni berpuluh-puluh tahun.














4). Penyuluhan dan Biaya Mendapatkan Informasi
Sebagian responden HaKI mendapat hambatan dalam mencari informasinya namun responden tetap menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait. Hasil survei menggambarkan bahwa tidak ada biaya bila mencari sendiri sebesar 40%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kaltim 30,00%, Kalsel 35,00%, Kalteng 45,00%, dan Lampung 50,00%. Apabila mencari dan mendengar dari orang lain maka responden merasa kurang yakin kebenarannya, rata-rata jawaban responden 35,00%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kalsel 25,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 45,00%, dan Lampung 40,00%. Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait yang berwenang memberikan penyuluhan lebih menguntungkan menurut responden, rata-rata 33,75%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel 45,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 20,00%, dan Lampung 40,00%.
Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait, selain jelas penyuluhan diperoleh, dan juga kemudahan pemanfaatannya, rata-rata responden memberikan pendapatnya sebesar 55,00%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel 75,00%, Kalteng 35,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 60,00%, (tabel 4).














5). Biaya Pengurusan HaKI
Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengurus HaKI cukup besar, dan beragam untuk tiap daerah. Dari daftar pertanyaan yang disampaikan, seluruhnya menjawab, ya (100,00%). Untuk administrasi dijawab rata-rata 57,25%, untuk pendaftaran rata-rata 30,50%, biaya lain-lain di jawab 52,50% (tabel 5). Kalau dirinci propinsi sampel bahwa memang ada biaya dikeluarkan, dapat disampaikan jawaban sebagai berikut: Biaya administrasi daerah responden Kalsel 50,00%, Kalteng 72,00%, Kaltim 32,00% dan Lampung 75,00%. Biaya pendaftaran Kalsel 50,00%, Kalteng 23,00%, Kaltim 24,00%, dan Lampung 25,00%. Biaya lain-lain Kalsel 75,00%, Kalteng 55,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 30,00%.














Dari hasil Pengamatan lapangan, ada indikasi tentang keengganan pengusaha untuk mengeluarkan biaya pengurusan HaKI. Apabila modal kerja dikeluarkan bukan untuk membiayai usaha perusahaan, dikhawatirkan kegiatan usaha akan terganggu.
6). Keuntungan Memiliki HaKI
Dari jawaban responden diketahui bahwa 42,00% menyatakan bahwa pemilikan HaKI memberikan keuntungan. Kalau dijabarkan secara rinci per propinsi adalah sebagai berikut: Memberikan keuntungan, Kalsel 60,00%, Kalteng 40,00%, Kaltim 40,00% dan Lampung 30,00%. Tidak memberikan keuntungan, Kalsel 40,00%, Kalteng 60,00%, Kaltim 60,00%, dan Lampung 70,00%.
Keuntungan produksi mendapatkan jaminan rata-rata 48,25%, nilai komersilnya naik menjawab 29,25%, mendapatkan kepuasan moral 3,75%, dan dapat dijual belikan menjawab 18,75% (tabel 6).














2. Faktor Mempengaruhi Mendapatkan HaKI
1). Permohonan Dan Biaya HaKI
Persyaratan pengajuan permohonan untuk mendapatkan HaKI telah ditetapkan oleh Departemen Hukum Dan HAM Cq. Direktorat Jenderal HaKI. Baik untuk permohonan Paten maupun Merek.
Permohonan administrasi sebagai berikut:
- Pemohon langsung mengajukan permohonan kepada Dirjen HaKI di Jakarta.
- Mengoreksi salah atau benar permohonan oleh Ditjen HaKI melalui Tim.
- Permohonan ditolak Ditjen HaKI, untuk perbaikan cukup memakan waktu.
- Pembayaran biaya permohonan, rekening nomor 311928974 BRI Cabang Tangerang atas nama Direktorat Jenderal HaKI.
- Kantor Wilayah (Daerah) atau pejabat yang ditunjuk, membubuhkan tanda tangan dan stempel pada permohonan diterima.
(1). Biaya Paten antara lain terdiri dari :
- Biaya permohonan paten
- Biaya pemeriksaan substansi paten
- Penulisan deskripsi, abstrak, gambar
- Biaya lain-lain
(2). Biaya Merek antara lain terdiri dari :
- Biaya permohonan merek
- Biaya perpanjangan merek
- Biaya pencatatan pengalihan hak merek
- Biaya lain-lain


2). Usaha Koperasi dan Usaha Kecil
Responden yang diwawancarai kebanyakan usaha bergerak dalam lingkungan industri kerajinan rakyat (industri alat rumah tangga). Kegiatan usaha mempekerjakan keluarga, tetangga dan penduduk sekitar tempat usaha. Pengembangan usaha relatiflamban, karena modal kecil, usaha turun temurun, kadangkadang produksi berdasarkan pesanan. Bagi koperasi, jenis usaha ditekuni umumnya unit toko dan unit simpan pinjam yang kebanyakan melayani anggotanya. Ada jenis usaha lain yang didirikan koperasi, tapi belum banyak berkembang, oleh karena itu untuk membiayai usaha tersebut diambilkan dananya dari usaha yang telah maju.
Bagi usaha koperasi pengambilan keputusannya berbeda sekali dengan keputusan diambil usaha kecil termasuk usaha menengah. Keputusan yang diambil koperasi berdasarkan kehendak para anggota, disalurkan melalui rapat anggota. Pengurus koperasi tidak mempunyai wewenang dalam menentukan kegiatan baru, lebih-lebih kegiatan tersebut memerlukan biaya-biaya.
Bila pengurus ingin untuk mendapatkan HaKI, maka pengurus koperasi harus mendapatkan persetujuan dari anggota dengan rencana kerja yang disahkan. Koperasi milik anggota dengan semboyan “dari, oleh, untuk” anggota. Rencana kerja yang telah disahkan melalui rapat, sangat penting bagi organisasi koperasi untuk mengetahui hasil kerja pengurus dalam satu tahun buku. Didalam neraca tahunan terlihat apakah suatu koperasi rugi atau untung. Karena lambatnya keputusan yang diambil harus melalui rapat anggota, bila ada peluang usaha yang harus diputuskan waktu itu juga, tidak dapat diputuskan. Akibatnya koperasi tidak dapat mengambil peluang usaha. Beberapa orang pengurus dan manager yang ditunjuk mengelola usaha koperasi, bukan membuat keputusan tetapi menjalankan keputusan yang telah ada berdasarkan hasil rapat anggota. Pengurus mempertanggung jawabkan hasil kerjanya selama tahun buku kepada rapat anggota, sedangkan manager mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada pengurus, karena manager diangkat pengurus dalam surat keputusan dengan masa jabatan telah ditetapkan. Pekerjaan yang ada di koperasi, baik administrasi organisasi, administrasi usaha dipertanggung jawabkan pengurus pada akhir tahun buku dalam rapat anggota tahunan (RAT).
3). Kiat-Kiat Peningkatan Pemanfaatan HaKI
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) sudah seharusnya dapat meningkatkan pemanfaatan penggunana HaKI oleh koperasi, usaha kecil dan menengah. Memberikan peran yang luas pada Kanwil Hukum Dan HAM didaerah (dinas didaerah) antara lain :
(1). Pemberian penyuluhan bersama dinas terkait secara kontinu.
(2). Permohonan yang disampaikan koperasi, usaha kecil dan menengah melalui Kanwil Hukum Dan HAM di daerah (dinas daerah), segera dikirim kepada Direktorat Jenderal HaKI di Jakarta, untuk disahkan.
(3). Bagi daerah pemohon yang tinggal dipedesaaan jauh dari Jakarta (luar Jawa), administrasi pemohon dijamin tidak mengalami kekeliruan.
(4). Biaya permohonan, biaya lain-lain, besar biayanya ditinjau kembali.


V. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan


Dari hasil survei lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut:


1). Rata-rata responden pernah mendengar HaKI (100,00%), tetapi belum mengerti arti dan pentingnya, serta prosedur pengajuan administrasi.
2). Rata-rata responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan (75,00%). Usaha dikelola kecil-kecil dan diantaranya ada usaha yang turun-temurun
3). Rata-rata responden mengatakan kurang berminat memiliki HaKI (52,50%), dan tidak berminat (45,25%). Ini disebabkan biaya dikeluarkan akan mengganggu kelancaran usaha.
4). Hasil jajak pendapat dilapangan (survei responden) mengatakan, menunggu penyuluhan tentang HaKI dari pemerintah dan instansi terkait.


2. Saran-Saran


1). Penyuluhan HaKI didaerah-daerah terus ditingkatkan, agar koperasi, usaha kecil dan menengah mengetahui arti dan pentingnya HaKI.
2). Biaya permohonan, biaya administrasi, dan biaya lain-lain agar ditinjau kembali, termasuk syarat pembayaran. Pembayaran oleh pemohon setelah permohonan diterima, yang disyahkan Direktorat Jenderal HaKI Jakarta.

Daftar Pustaka

  • Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Direktorat Jenderal Bina Lembaga Koperasi. Jakarta.
  • Anonimous, (1995). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Direktorat Jenderal Pembinaan Koperasi Perkotaan. Jakarta.
  • Anonimous, (2001). Undang-undang Republik Indonesia Tentang Paten dan Merek Tahun 2001. Penerbit “Citra Umbara”. Bandung.
  • Hadi Sutrisno, (1993). Metodologi Research. Penerbit. “Andi Offset”, Yogyakarta.
  • Maulana Insan Budi, (2000). Peran Serta LSM dalam Pemberdayaan KPKM di Bidang HaKI khususnya Merek Dagang. Disampaikan dalam Workshop Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.
  • Nahar Rahimi SH, (2000). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Merek di Indonesia. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta.
  • Singgih Santoso, (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Paramatrik. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
  • Sugiyono, (2003). Metode Penelitian Bisnis. Alfa Beta, Bandung.
  • Suharto, Tata Iryanto, (1996). Kamus Bahasa Indonesia Terbaru. Penerbit “Indah”. Surabaya.
  • Umar Achmad Zen P, (2000). Sosialisasi dan Penegak Hukum di Bidang HaKI Khususnya yang Berkaitan dengan Merek Dagang. Disampaikan dalam Workshop Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.
Oleh :
  • Ade Irene
  • Dimas Agung P (22210019)
  • Levian
  • Rina Rismawati
  • Rezky Izhardhi N
Kelas :
2 EB 05

Sumber :

Hukum Perdata

 PEMERINTAH SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DALAM
KONTRAK PENGADAAN BARANG ATAU JASA

Abstract

Dalam pembagiannya subjek hukum Perdata terdiri atas manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson). Tetapi dalam perkembangannya, ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, maka pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum bukan wakil dari jabatan, sehingga tindakan pemerintah tersebut adalah tindakan badan hukum.


Keyword: pemerintah, subjek hukum.

 A. Latar Belakang



Hukum dalam klasifikasinya terbagi atas hukum publik dan hukum privat. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau negara dengan warga negara. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara satu orang dengan orang lain atau subjek hukum lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan. Berdasarkan pengertiannya, maka subjek hukum perdata terdiri atas orang dan badan hukum.

Pemerintah juga perlu membeli barang atau jasa (government procurement) dalam rangka menjalankan fungsinya sehari-hari. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, tentunya pemerintah harus mengikuti prosedur pengadaan sebagaimana telah diatur dalam perprees Nomor 54 Tahun 2010. Prosedur pengadaan barang/jasa dapat dilakukan dengan menggunakan penyedia barang/jasa dan juga dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah secara swakelola. Oleh karenanya agar prosedur pengadaan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya, maka hubungan hukum yang tercipta haruslah dibingkai dengan hukum yang dikenal dengan kontrak. 

Secara sederhana kontrak dapat digambarkan sebagai suatu perjanjian antara dua atau lebih pihak yang mempunyai nilai komersial tertentu. Sebagaimana layaknya sebuah perjanjian, dalam sebuah kontrak para pihak yang mengikatkan diri adalah subjek hukum. Adapun yang dimaksud dengan subjek hukum disini adalah subjek hukum perdata. Apabila telah di pahami bahwa yang dimaksud para pihak dalam kontrak adalah subjek hukum perdata, maka timbul pertanyaan apakah mungkin pemerintah yang tidak biasanya di persepsikan sebagai subjek hukum perdata tetapi subjek hukum publik dapat menjadi salah satu pihak dalam sebuah kontrak pengadaan barang atau jasa?


 B. Pembahasan


1. Subjek Hukum Perdata

Manusia adalah subjek hukum. Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Istilah subjek Hukum berasal dari terjemahan rechsubject (Belanda) atau law of subject (Inggris). Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di Hukum Perdata, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Didalam berbagai literatur di kenal 2 (dua) macam subjek hukum yaitu manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson).

Tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang telah dewasa dan/atau sudah kawin.
Selain naturlijkperson sebagai subjek hukum, maka subjek hukum lainnya adalah badan hukum rechtperson. Pengertian badan hukum hanya dapat di lihat dalam doktrin ilmu hukum. Menurut Rochmat Soemitro rechtperson adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Menurut Sri Soedewi Masjchoen sebagimana di kutip dari Salim H. S berpendapat bahwa yang di maksudkan dengan badan hukum adalah Kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu (1) berwujud himpunan, dan (2) harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu dan ini dikenal dengan yayasan.

2. Kedudukan Pemerintahan

Diantara jabatan-jabatan kenegaraan terdapat jabatan pemerintaha, yang menjadi objek hukum administrasi negara. Menurut P.Nicolai ada beberapa ciri yang terdapat pada jabatan atau organ pemerintahan yaitu:

1.Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggungjawab sendiri, yang dalam pengertian moderen diletakkan sebagai pertanggungjawaban politik dan kepegawaian atau tanggungjawab pemerintah sendiri di hadapan Hakim. Organ pemerintah adalah pemikul kewajiban tanggungjawab

2.Pelaksanaan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma hukum administrasi, organ pemerintahan dapat bertindak sebagai pihak tergugat dalam proses peradilan, yaitu dalam hal ada keberatan, banding atau perlawanan

3.Di samping sebagai pihak tergugat, organ pemerintahan juga dapat tampil menjadi pihak yang tidak puas, artinya sebagai penggugat

4.Pada prinsipnya organ pemerintahan tidak memiliki harta kekayaan sendiri. Organ pemerintahan merupakan bagian (alat) dari badan hukum menurut hukum privat dengan harta kekayaannya. Jabatan Bupati atau Walikota adalah organ-organ dari badan umum ”Kabupaten”. Berdasarkan aturan hukum badan umum inilah yang dapat memiliki harta kekayaan, bukan organ pemerintahannya

Antara jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun diantara keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau terpisah dan diatur dengan hukum yang berbeda. Jabatan diatur oleh hukum tata negara dan hukum administrasi, sedangkan pejabat diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian. Dengan demikian, kedudukan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik adalah wakil dari jabatan pemerintahan.

3. Pemerintah Sebagai Subjek Hukum Perdata Dalam Kontrak Pengadaan Barang Atau Jasa

Didalam suatu kontrak, pemerintah tidak dapat memposisikan dirinya lebih tinggi dari pihak yang terkait kontrak, walaupun pemerintah merupakan lembaga yang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat mengatur (regulator). Dengan demikian, pihak yang terkait dalam kontrak maupun pemerintah memiliki kedudukan yang sejajar dalam pemenuhan hak dan kewajiban yang tertuang di dalam kontrak yang disepakati.

Keterlibatan pemerintah dalam kontrak ini menunjukan tindakan pemerintah tersebut diklasifikasikan dalam tindakan pemerintahan yang bersifat keperdataan. Berkenaan dengan tindakan hukum keperdataan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa:

”Sekalipun tindakan hukum keperdataan untuk urusan pemerintahan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dimungkinkan, bukan tidak mungkin pelbagai ketentuan hukum publik (hukum tata usaha negara) akan menyusup dan mempengaruhi peraturan hukum perdata. Contohnya beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tata cara atau prosedur tertentu yang harus ditempuh berkenaan upaya perbuatan hukum keperdataan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara.”

Kedudukan Pemerintah dalam kontrak juga tidak memiliki kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam peradilan umum.

C. Penutup

Kesimpulan

Subjek hukum sangat penting untuk hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid) untuk melakukan perbuatan hukum. Dikenal 2 (dua) macam subjek hukum perdata yakni manusia (naturlijk person) dan badan hukum (recht person).

Negara dalam perspektif hukum perdata adalah sebagai badan hukum publik. Maka berdasarkan hukum perdata, negara adalah kumpulan dari badan-badan hukum, yang di dalamnya terdapat badan pemerintahan. Ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan.

Saran

Berdasarkan hasil penulisan ini, maka dapat disarankan agar baik pemerintah maupun para penegak hukum kiranya lebih memahami kedudukan pemerintah dalam kontrak pengadaan barang atau jasa. Kedudukan Pemerintah dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam peradilan umum.


DAFTAR PUSTAKA


Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 2005;
Daliyo, J. B, et.all, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992;
Philipus M. Hadjon, et.all., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1982;
Salim H. S. Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008;
Simamora,Yohanes Sogar, Pembentukan Dan Pelaksanaan Kontrak Pengadaan, Seminar Nasional Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2006;
Soemitro, Rochmat, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Eresco, Bandung,1993



OLEH :

  • ADE IRENE FEBRI
  • DIMAS AGUNG P (22210019)
  • LEVIAN
  • RINA RISMAWATI
  • REZKY IZHARDHI
KELAS : 2EB05